Pemerintah
Kabupaten Bogor dalam waktu dekat ini akan membentuk Badan Perkreditan
Syariah (BPRS). Pembentukan lembaga keuangan baru itu kini baru tahap
penyiapan draf Peraturan Daerah yang nantinya akan dijadikan dasar hukum
pembentukan lembaga baru tersebut.
"Saat
ini rencana pembentukan BPRS Syariah tersebut baru pada tahapan
pembahasan draf Perda, sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah," kata Kepala Bagian Perekonomian
Setda Pemkab Bogor Euis Sugiarti kepada wartawan kemarin.
Pengumpulan
bahan dan persyaratan tersebut lanjut dia untuk melengkapi izin ke Bank
Indonesia. Sesuai Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah dan Peraturan Bank Indonesia (BI) nomor 11/23/PBI/2009 Tentang
Pembiayaan Rakyat Syariah.
"Syarat-syarat
yang harus dilengkapi tersebut menurut dia, Badan Hukum berupa
Perseroan terbatas, colon direksi, Komisaris dan dewan Pengawas Syariah
(DPS), infrastruktur serta memenuhi kelayakan usaha sebagai Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah," terang Euis.
Diungkapkan
Euis pendirian BPRS tersebut antara lain adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi masyarakat menumbuhkan usaha sektor riil terutama
pada kelompk usaha kecil dan mikro.
Memberikan
fasilitasi akses permodalan bagi usaha kecil dan mikro, menciptakan
lapangan kerja, meningkatan pendapatan asli daerah dan mernbina semangat
ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan per
kapita melalui kualitas hidup yang memadai.
Sementara
itu, Anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bogor, Teuku Hanibal mengatakan
pihaknya menyambut baik rencana pendirian BPRS tersebut. Karena lembaga
keuangan syariah tersebut sesuai dengan kultur masyarakat Kabupaten
Bogor yang mayoritas beragama Islam.
"Kami menyambut baik usulan tersebut karena ini sesuai dengan kultur masyarakat kita yang agamis," ujarnya.
Dia
mendesak pemerintah daerah agar segera melakukan perubahan status
Perusahan Daerah Perkreditan Kecamatan (PDPK) menjadi PD Bank
Perkreditan Rakyat (BPR).
"Jumlah
BPR yang ada sekarang ini baru 5 unit, tapi yang justru lebih banyak
adalah PDPK. Karena itu kami meminta agar PDPK ini segera diubah menjadi
BPR," terangnya. (ugi)
Sumber : Pelita 05/05/2011